Rabu, 01 Agustus 2012

GAHARU

Tentang Kami

SALAM
Selamat datang di website kami,Saya Alexander, Pengurus sekaligus pemilik Gaharu by anekatasbih. Gaharu by anekatasbih adalah unit usaha dari Gaharu Group yang memasarkan Product Handycraft yang dihasilkan oleh mitrakerja kami Para Pengrajin di daerah Pumpungan, Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, dan sebagian kami kerjakan di Workshop kami.
Kami menjual product-product berupa:Tasbih,Gelang,Cincin,Tongkat,Cambuk,kerajinan seni ukir,dll dalam berbagai ukuran, bentuk, dan fungsi. Menggunakan Bahan-bahan yang dijamin keasliannya, dengan harga grosir dan eceran. Kami juga menerima pesanan Khusus (custom desain), dan perbaikan segala macam bentuk tasbih.

Segera Hubungi kami untuk mendapatkan product-product berkuwalitas persembahan Gaharu Group yang dikerjakan oleh tangan-tangan terampil mitra kerja kami para pengrajin desa Pumpungan, Sukolilo, Surabaya.

Contact Kami:

  • Galeri Offline: Jl.Pumpungan 4, Kec. Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur
  • E-mail : anekatasbih@gmail.com
  • HP : 082140907203 SMS/CALL
  • Hp : 083831243199 SMS ONLY




Gaharu

 Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.
Berdasarkan studi dari Ng et al. (1997)[1], diketahui jenis-jenis berikut ini menghasilkan resin gaharu apabila terinfeksi oleh kapang gaharu :

just for widening coloum



 

Proses pembentukan

Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka.[2] Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian.[2] Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen.[3] Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain.[3] Namun, apabila mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk. Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman.[4] Senyawa gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol.[4] Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu memiliki mikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar. Beberapa contoh cendawan yang dapat digunakan sebagai inokulum adalah Acremonium sp., Cylindrocarpon sp., Fusarium nivale, Fusarium solani, Fusarium fusariodes, Fusarium roseum, Fusarium lateritium dan Chepalosporium sp.

 

Nilai ekonomi

Gaharu banyak diperdagangan dengan harga jual yang sangat tinggi terutama untuk gaharu dari tanaman famili Themeleaceae dengan jenis Aquilaria spp. yang dalam dunia perdangangan disebut sebagai gaharu beringin.[5] Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang relatif rendah, biasanya disebut sebagai gaharu buaya.[5] Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya[5]. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya.[5] Secara umum perdagangan gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaitu gubal, kemedangan, dan abu.[6] Gubal merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat.[6] Kemedangan adalah kayu gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu, memiliki serat kasar, dan kayu lunak.[6] Kelas terakhir adalah abu gaharu yang merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu gaharu.[6]

 

Pengolahan Minyak Gaharu

Sebelum dijadikan bahan baku parfum, gaharu harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan minyak dan senyawa aromatik yang terkandung di dalamnya.[7] Sebagian kayu gaharu dapat dijual ke ahli penyulingan minyak yang biasanya menggunakan teknik distilasi uap atau air untuk mengekstraksi minyak dari kayu tersebut.[7] Untuk mendapatkan minyak gaharu dengan distilasi air, kayu gaharu direndam dalam air kemudian dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk menguapkan air hingga minyak yang terkandung keluar ke permukaan wadah dan senyawa aromatik yang menguap dapat dikumpulkan secara terpisah.[7] Teknik distilasi uap menggunakan potongan gaharu yang dimasukkan ke dalam peralatan distilasi uap.[7] Tenaga uap yang menyebabkan sel tanaman dapat terbuka dan minyak dan senyawa aromatik untuk parfum dapat keluar.[7] Uap air akan membawa senyawa aromatik tersebut kemudian melalui tempat pendinginan yang membuatnya terkondensasi kembali menjadi cairan.[7] Cairan yang berisi campuran air dan minyak akan dipisahkan hingga terbentuk lapisan minyak di bagian atas dan air di bawah.[7] Salah satu metode digunakan saat ini adalah ekstraksi dengan [[superkritikal CO2]], yaitu CO2 cair yang terbentuk karena tekanan tinggi.[7] CO2 cair berfungsi sebagai pelarut aromatik yang digunakan untuk ekstraksi minyak gaharu.[7] Metode ini menguntungkan karena tidak terdapat residu yang tersisa, CO2 dapat dengan mudah diuapkan saat berbentuk gas pada suhu dan tekanan normal.[7]

 

Konservasi

Pada tahun 1994, konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Amerika Serikat menetapkan bahwa pohon gaharu spesies A. malaccensis masuk ke dalam Appendix II, yaitu tanaman yang dibatasi perdangannya.[8] Penetapan tersebut dikarenakan populasi tanaman penghasil gaharu semakin menyusut di alam yang disebabkan para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat mana tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen.[9] Untuk mencari pohon penghasil gaharu, para pengusaha menebang puluhan pohon yang salah (tidak menghasilkan gaharu) sehingga jumlah pohon tersebut sangat berkurang.[9] Pada tahun 2004, Indonesia mengajukan agar semua penghasil gaharu alam yaitu genus Aquilaria dan Gyrinops dimasukkan ke dalam daftar Appendix 2 untuk membatasi perdagangannya sehingga perdagangan gaharu harus memiliki izin dari CITES dan dalam kuota tertentu.[10] Hal ini dilakukan untuk memastikan spesies pohon gaharu alam dapat berkembang dan tersebar dengan baik.[9]



Tentang Kayu Gaharu



GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona

Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta. 

Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti Tasbih , gelang, parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya. 

Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).

Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips, handycraft, dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali. Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya. Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya. Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).

Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya. 

Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.

Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.

Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :

Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super), 

Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan 

Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua). 

Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk). Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya. 

Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya. Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm. Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.

Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II. Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.

Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah. Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.

Penutup

Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu. Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk mendorong keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian. Akhirnya, untuk menghindarkan kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan. 

Daftar Pustaka : 

Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN). 1999 

Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan. Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001 

Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram, 4 – 5 September 2001.
 PEMBAGIAN KATEGORI GRAD JENIS TASBIH GARU KHAS MAKRIFAT BUSINESS:


  1. Grad A ada tiga macam  A = standart, A = Plus , A = Super
  2. Grad B ada tiga macam  B = standart, B = Plus , B = Super
  3. Grad C ada tiga macam  C = standart, C = Plus , C = Super
  4. Grad D ada tiga macam  D = standart, D = Plus , D = Super

APA YANG DISEBUT GRAD "A"?
yaitu jenis garu yang memiliki ciri ciri sbb :
  1. Pasti tenggelem dalam air
  2. Warna coklat tua kehitaman
  3. Warna coklat tua dengan batik khas garu ada goresan kombinasi putih
  4. Alami asli bukan suntikan atau karena proses kimiawi tetapi 100% proses alami.
  5. Jika dibakar langsung mengeluarkan minyak atau getah garu dengan aroma khas garu.
  6. Bentuk tasbih super bolat bola / kelereng.
  7. tasbih 100% butiran tidak ada yang cacad/luka/lobang /sobek/gupil dll.
 APA YANG DISEBUT GRAD "B"?
yaitu jenis garu yang memiliki ciri ciri sbb :
  1. Ada yang tenggelem dalam air dan ada yang tidak
  2. Warna coklat tua campur coklat muda
  3. Warna coklat tua dengan batik khas garu ada goresan kombinasi putih namun belum sempurna
  4. Alami asli bukan suntikan atau karena proses kimiawi tetapi 100% proses alami.
  5. Jika dibakar langsung mengeluarkan minyak atau getah garu dengan aroma khas garu.
  6. Bentuk tasbih super bolat bola / kelereng.
  7. Tasbih hampir 90% tidak ada yang cacad.
 APA YANG DISEBUT GRAD "C"?
yaitu jenis garu yang memiliki ciri ciri sbb :
  1. Ada yang tenggelam dalam air ada yang tidak
  2. Warna coklat coklat muda
  3. Warna coklat muda dengan batik khas garu ada goresan kombinasi putih namun belum sempurna
  4. Alami asli bukan suntikan namun juga ada yang suntikan kimiawi atau karena proses kimiawi aroma dan warnanya.
  5. Jika dibakar ada yang mengeluarkan minya plus aroma ada yang tidak hanya mengeluarkan aroma saja.
  6. Bentuk tasbih super bolat bola / kelereng.
  7. Memungkinkan masih ada tasbih yang cacad
 APA YANG DISEBUT GRAD "D"?
yaitu jenis garu yang memiliki ciri ciri sbb :
  1. Ada yang tenggelam dalam air ada yang tidak
  2. Warna coklat coklat muda campur baur coklat muda
  3. Warna coklat muda atau coklat tua tetap masih ada batik khas garu ada goresan kombinasi putih ada yang sempurna ada yang tidak.
  4. Tidak selamanya alami asli tetapi memungkinkan aroma  suntikan tetapi 100% tetap kayu garu.
  5. Jika dibakar ada yang mengeluarkan minyak plus aroma ada yang tidak hanya mengeluarkan aroma saja.
  6. Bentuk tasbih tidak selamanya super bolat bola / kelereng.
  7. memungkinkan masih ada tasbih yang cacad.
 Kwalitas super dari jenis tasbih garu  yang sering kami sebut dalam website ini adalah termasuk dalam kategori jenis Grad "A" standart. Maka sangat memungkinkan kalau harga terutama untuk GRAD "A" akan mengalami perubahan sewaktu waktu. beru. Dalam sebuah misal satu ton kayu gaharu tidak banyak yang termasuk dalam kategori grad "A" dan penjual kayu gaharu masih sering mencampur dalam timbangannya dengan berbagai jenis kwalitas.Namun ada juga yang sudah memilah dengan berbagai kwalitas tetapi harganya woooowwwwww... sangat luar biasa hehehe... mahalnya.